Oleh: Munjin Sulaeman (Kepala Bidang Politik Demokrasi PB HIMASI/SekBid Sosial Kesejahteraan HMI Kota Bogor)
KAB.BOGOR, - Salah satu tolak ukur wujud kita berdemokrasi adalah dengan adanya Pemilu, tetapi semua itu tidak selesai hanya dengan diadakannya Pemilu, karena dengan di adakannya Pemilu harus mampu menjawab wujud berdemokrasi sesungguhnya, bukan hanya menjadikannya sebagai ritual atau bahkan mungkin hanya menggugurkan kewajiban kita berdemokrasi.
Pemilu dilaksanakan harus dengan ketentuan yang ada, sebab kedaulatan di tangan rakyat harus di sandingkan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai aturan main kita berdemokrasi karena dengan begitulah wujud kita berdemokrasi. Baik pemerintah maupun masyarakat harus sama-sama menjujung tinggi aturan main tersebut.
Wacana penundaan pemilu yang menjadi buah bibir di kalangan elit jelas menyalahi aturan main, sebab di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 22E (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Menghalalkan segala cara agar hal tersebut terlaksana tanpa alasan urgensi yang jelas sudah pastinya menyalahi kesepakatan bangsa ini berdemokrasi. Sebab senada dengan yang di utarakan guru besar sejarah modern di Uneversitas Cambridge, Dengan adagium-nya yang terkenal ia menyatakan : "power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely" (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut)." Maka batasan kekuasaan jelas harus di atur dan di sepakati agar tidak terciptanya pemerintahan yang korup.
Baca juga:
Siapakah Satrio Piningit Tahun 2024?
|
Belum selesai dengan narasi penundaan pemilu ditambah lagi dengan isu pelaksaan pemilu yang akan di laksanakan seperti pada jaman orde lama dan orde baru yaitu secara proporsional tertutup. Pemaknaan langsung dalam pemilu menurut hemat penulis tidak hanya selesai dengan pemaknaan pemilih datang ke TPS kemudian memilih, akan tetapi pemaknaan langsung dalam asas pemilu menurut penulis adalah pemilih langsung memilih siapa yang berhak mewakilinya tanpa ditentukan oleh elit partai. Jadi pelaksanaan pemilu secara proporsional tertutup sudah jelas tidak sesuai dengan asas pemilu yang tertuang di dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Selain itupun sampai detik ini belum adanya revisi baik Undang-Undang No7 Tahun 2017 tentang Pemilu maupun Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pemilukada bahkan di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indoneisa No1 Tahun 2022 tentang perubahan atas Undang-Undang No7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Maka pelaksanaan Pemilu harus dilaksanakan sesuai aturan yang tertera
Kemudian jika alasan dilaksanakan proporsional tertutup agar pemilu dilaksanakan dengan lebih mudah menurut hemat penulis hal tersebut tidaklah sepadan untuk membayar makna bedemokrasi, apalagi jika itu hanya di jadikan alasan yang mengada-ada untuk menguntungkan salah satu pihak maupun kelompok.
Dan yang lebih menakutkan dalam isu proporsional terbuka dan tertutup ini adalah hal tersebut sengaja di manfaatkan oleh orang-orang atau sekelompok golongan dengan narasi bahwasaanya Pemilu belum siap karena masih belum selesai antara perdebatan proporsional terbuka dan tertutup untuk kembali melakukan penundaan pemilu.
Maka tugas kita bersama adalah memastikan bahwasannya Pemilu akan dilaksanakan tanpa di tunda dan Pemilu bukan hanya sebagai bentuk pelepasan kewajiban berdemokrasi tanpa adanya subtansi dan kehilangan makna berdemokrasi itu sendiri. (***)
Baca juga:
Ken Dedes, Wanita Utama Dari Desa Panawijen
|